Pages

When I Was Your Man - Bruno Mars

Waduh, kok kebetulan lagu pilihanku menggalaukan hati semua ya? Biarlah, wong yang lagi rame yang galau-galau gitu kok^_^

When I was Your Man, lagu yang dinyanyikan dengan sepenuh hati oleh Mas Bruno. Bercerita tentang orang yang kehilangan kekasihnya karena ia kurang memberi perhatian pada kekasihnya itu. Interpretasi kali ini akan kubentukkan dalam sebuah cerpen bertokohkan Nadya (cewek dalam lagu ini), Radith (kekasih Nadya ), serta Gavin (cowok yang sedang pedekate pada Nadya). Mari kita mulai.
Same bed
But it feels just a little bit bigger now
Di luar hujan rintik-rintik. Nadya menengadah langit melewati jendela kamarnya yang berkaca bening. Sesekali, langit yang kelam itu dihiasi cahaya merah muda bercampur jingga yang mengintip lewat gumpalan awan di sudut langit sebelah selatan, arah hadap jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Ia menyukai kamarnya itu sampai harus berebut dengan kakaknya dulu. Alasannya cuma satu, ia bisa leluasa melihat langit dari jendela. Kebiasaan yang menenangkan hatinya sejak ia kecil.
Jam berbentuk kelinci di meja mungil sebelah tempat tidurnya menunjukkan pukul setengah delapan malam. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Tetap saja ganjalan di hatinya tidak berkurang. Biasanya pada jam itu, ia memulai rutinitasnya bersama Radith. Ia akan memutar stasiun radio kesayangannya, dan Radith akan meneleponnya sampai jam Sembilan, sampai acaranya selesai. Mereka akan membicarakan banyak hal, dari yang sepele sampai serius, atau hanya sekedar mendengarkan lagu bersama-sama. Ia selalu merasa Radith menemaninya selama satu setengah jam itu. Kali ini lain. Kamarnya terasa begitu senyap dan dingin.
Our song on the radio
But it don’t sound the same
Reflek, Nadya memutar tombol ON di radionya, yang salurannya sudah ter-set di saluran favoritnya. Entah kenapa, pengisi acara di radio itu tak semerdu dua malam lalu. Pun, malam ini tak ada telfon dari siapapun. Lagu Just The Way You Are nya Bruno Mars mengalun indah memenuhi kamar. Sebelum  dua hari lalu, ia akan senyum-senyum sendiri tiap kali mendengar lagu ini. Ini lagu yang pernah dinyanyikan Radith langsung di depan teman-temannya, diiringi petikan gitar yang sangat piawai ia mainkan. Lagu yang membuat hatinya meleleh hingga bersedia menerima pernyataan cinta seorang Radith, cowok buruan cewek nomer wahid di kampus.
Malam ini, lagu itu mencairkan kebekuan yang ia simpan di hatinya. Lelehannya merembes lewat mata tanpa bisa ia bendung. Ia menangis sesenggukan sambil membisikkan nama Radith berulang-ulang. Lama sekali sampai ia terlelap.
When our friends talk about you
All it does is just tear me down
Cause my heart breaks a little
When I hear your name
It all just sound like uh, uh, uh
Setelah semalam diguyur hujan, pagi ini matahari pun masih malu-malu menunjukkan sinarnya. Warna pagi ini masih bekisar coklat lumpur dan awan abu-abu. Radith memacu sepeda motornya perlahan, membiarkan kaca helmnya tersibak agar ia merasakan sejuknya terpaan udara pagi di wajahnya yang panas karena kurang tidur. Kalau hari ini bukan kuis mata kuliah Aljabar Linier, ia lebih memilih tetap meringkuk di kasurnya yang empuk. Hijau pepohonan yang berderet di sepanjang jalan menyegarkan matanya yang menahan kantuk. Ia menghela nafas kuat-kuat, berusaha mengenyahkan bayangan Nadya yang menyesaki dadanya. Sepanjang jalan itu, ia merapal mantera: “Maafkan aku, Nad.”
Radith memarkir sepeda motornya di basement gedung kuliahnya hari ini. Ia bersyukur setelah ini ia bisa langsung pulang, tidak harus pindah gedung yang melewati fakultas ekonomi, tempat kuliahnya Nadya. Ia berhenti di belokan tangga saat mendengar ada seseorang yang sedang membicarakan Nadya. Nadya nya kah? Atau Nadya yg lain? Ia sengaja berlama-lama di belokan tangga, dan naik perlahan-lahan. Mereka sedang membicarakan Nadya-nya, dan menggosipkan hubungan mereka. Ia tidak berminat mendengarkan kelanjutan percakapan mereka. Ia lebih memilih jalan memutar lewat tangga bagian belakang gedung. Harusnya ia tak perlu peduli dan lewati mereka begitu saja. Tapi, dadanya terasa perih. Kenapa mereka harus membicarakan Nadya sih? Sampai sejauh mana hubungan mereka jadi konsumsi anak-anak kampus ini?, batin Radith.
Hmmm too young, to dumb to realize
That I should have bought you flowers and held your hand
Should have given all my hours when I had the chance
Take you to every party
Cause all you wanted to do was dance
Radith tidak jadi langsung pulang setelah kelas selesai. Ia duduk di bangku kayu di bawah sebuah pohon beringin. Ia memejamkan mata kuat-kuat, mencoba menyingkirkan kegalauan hatinya. Ia ingat dua malam lalu, Nadya meminta untuk mengakhiri hubungan mereka, saat ia dalam keadaan tidak bisa membahas hal itu, hingga ia mengiyakan begitu saja permintaannya. Mereka sudah sering berselisih pendapat akhir- akhir ini dan biasanya ia yang menang. Nadya hanya akan diam, tersenyum, lalu tetap duduk diam di sampingnya atau mencari alasan untuk pergi dari hadapannya.
Radith menghela nafas panjang. Kali ini, ia tidak bisa mempertanyaakan keputusan Nadya. Terlalu malu lebih tepatnya. Ia sadar banyak hal yang terlewatkan selama berhubungan dengannya, dan bobot kesalahan itu lebih terfokus padanya.
Dua tahun lalu, mereka memulai hubungan saat masih semester  awal. Sejak SMA, ia sadar banyak cewek yang berusaha menarik perhatiannya, tapi ia malah jatuh hati pada Nadya. Cantik sih, tapi penampilannya sederhana. Meski begitu, pembawaannya begitu anggun. Senyumnya seolah mampu merontokkan gunung es sekalipun. Nadya bukan tipe yang akan menarik perhatian dengan cara berdandannya. Tapi lihatlah saat ia berbicara, semua penyimaknya akan diam. Kecerdasan begitu memancar lewat bahasa mata dan lisannya. Tutur katanya begitu santun. Radith jatuh cinta begitu saja. Tanpa alas an, tanpa pertimbangan. Rasa yang muncul dan langsung menggelegak memenuhi seluruh sel di tubuhnya. Padahal, ia tidak kenal Nadya. Ia hanya sering melihatnya sedang berbincang-bincang atau berdiskusi di taman beringin yang bangkunya tak jauh dari tempat Radith duduk sekarang. Ia tahu nama gadis itu Nadya, setelah melihatnya sedang berbincang dengan teman sekosnya, Gavin. Lewat Gavinlah ia mendekati Nadya.
Radith tersenyum namun matanya berkaca-kaca mengingat kekonyolannya saat mendekati Nadya. Sekarang, sudah tak ada lagi Nadya-nya yang manis, pengertian dan sabar. Ia sendirian. Sebenarnya, menurut Radith, masalahnya sepele. Tapi ia memang keterlaluan. Masalah sepele itu ia ulang terus menerus. Ia ingat hanya bersikap sebagai kekasih Nadya  yang manis hanya sebulan saja. Selebihnya, ia kembali pada dirinya yang cuek dan lupa ada seseorang yang menuntut konsekuensi pernyataan cinta. Tidak, tidak, Nadya tak pernah memintanya.
Kencan pertama, ia membawakan sebuket bunga mawar untuk Nadya, dan ia ingat betul reaksi Nadya saat itu, lugas tapi manis.
“ Aku tidak suka bunga,” katanya.
Radith hanya cengar-cengir  mendengarnya, kemudian tersenyum lega karena Nadya tetap menerima bunganya dengan senyum yang sangat meluluhkan hatinya, membuatnya lupa ingin memakinya dalam hati karena menolak perhatiannya pada kencan pertama mereka.
“ Tahu kenapa?”
“ Apa?” kesadarannya tersentak dengan pertanyaan itu. Hatinya pun kembali kecut.
“ Kenapa aku tidak suka bunga…”
“ Alergi?” Radith mencoba menebak. Nadya malah tersenyum lebih lebar, membuka kertas pembungkus buket, mengambil cutter  dan sebuah vas kaca berbentuk ulir memanjang.
“ Aku tidak akan menerimanya kalau aku alergi”
“Lalu?”
Nadya tersenyum lagi, membuat Radith gemas setengah mati. Eh, malah ditinggal ke ruang belakang sambil membawa vas itu ke belakang, lalu tiba-tiba sudah kembali lagi ke ruang tamu membawa nampan berisi minuman, setoples kacang mede goreng, dan vas tadi yang kini berisi air separuhnya. 
“ Aku lebih suka bunga di tempat asalnya. Mereka lebih cantik jika sedang tumbuh, bukan dipetik, karena mereka akan gugur dengan agung sebagai rabuk generasi selanjutnya.”
Waw, jaw, drop. Radith hanya melongo mendengarnya.
“Waduh, aku gak sefilosofis itu memaknai bunga.”
“Terus, kenapa bawa?” tanyanya sambil mempreteli daun bunga, memotong ujungnya menjadi runcing, memasukkan serbuk putih berkilau ke dalam vas dan mulai menyusun mawar-mawar itu di vas.
“Biar kaya yang di tivi, gitu” Radith menjawab dengan tersipu. Nadya malah tergelak. Di gendang telinga Radith, suara tawa itu begitu renyah dan enak di dengar, pun karena itu baru pertama kali Radith mendengarnya tertawa. Dari tawa itu, terciptalah obrolan yang membuat mereka semakin mengenal satu sama lain.
Hingga dua malam lalu, saat Nadya mengatakan ingin berhenti menjadi kekasihnya, ia hanya bisa mengatakan, terserah, lakukan semaumu. Saat itu ia sedang main game online dengan teman-teman nongkrongnya. Kebiasaan yang membuat mereka bertengkar akhir-akhir ini.
Now my baby is dancing,
But she’s dancing with another man
Radith  menghela nafas panjang mengingat kisahnya. Ia bangkit dari tempatnya, dan tak sengaja matanya tertumbuk pada gadis berbaju hijau toska yang di  bangku ujung taman. Nadya. Dia sedang berbincang serius dengan Gavin. Ingin rasanya mendekati mereka dan menyingkirkan Gavin dari sisi Nadya, tapi ia urungkan. Ia sadar Nadya butuh seseorang untuk berkeluh kesah. Dan Gavin orang yang akan selalu bersedia untuk mendengarnya. Ia tahu itu karena Gavin pernah memperingatkannya bahwa ia akan mengambil Nadya dari sisinya jika ia melihatnya menangis karena Radith, sekali saja.
My pride, my ego, my needs and my selfish ways
Caused a good strong woman like you to walk out my life
Dulu, saat Nadya mulai memprotes kebiasaannya main game hingga lupa telfon, lupa hari ulang tahunnya dan lupa tanggal jadian mereka, ia hanya beralasan untuk menerima dirinya apa adanya, termasuk kegemarannya main game. Nadya akan diam saja, dan hubungan mereka akan berlanjut seperti biasanya.
Now I'll never, never get to clean out the mess I’m in
And it haunts me every time I close my eyes
It all just sounds like uh, uh, uh, uh
Hingga suatu hari, tepatnya sabtu malam, Nadya menelfonnya hendak menanyakan janji nonton mereka mala mini. Ia terlalu sibuk dan di warnet itu terlalu berisik. Vika, teman sekelasnya yang mengangkat telfon itu dan menjawabnya dengan sebuah tawa dan bilang kalau Radith tidak bisa diganggu sekarang. Minggu siang, Radith terlalu mengantuk untuk menjawab telfon. Seninnya mereka bertengkar hebat. Dan kejadian itu berlangsung setahun terakhir dari hubungan mereka. Radith selalu melupakan jadwal kencan mereka, berjanji menggantinya lain hari, untuk kemudian di langgar lagi. Hanya, Nadya tak lagi mempermasalahkan itu setelah tiga kali pertengkaran.
Although it hurts
I’ll be the first to say that I was wrong
Oh, I know I’m probably much too late
To try and apologize for my mistakes
But I just want you to know
I hope he buys you flowers,
I hope he holds yours hands
Give you all his hours when he has the chance
Take you to every party
Cause I remember how much you loved to dance
Do all the things I should have done
When I was your man!
Ia tahu tak kan bisa begitu saja mengubah kebiasaannya. Daripada membuat Nadya tetap terluka jika di sisinya, biarkan ia memilih rehat dari hubungan yang melelahkan hatinya. ia tahu Nadya suka film, tapi mereka selalu gagal menonton bersama. Ia tahu Nadya sangat suka coklat, tapi ia selalu lupa membelikan untukknya. Ia harus bergegas dan meminta maaf. Ia hanya berharap, semoga sekarang Gavin mampu menyejukkan hatinya.

No comments:

Post a Comment